Awal Mula Perjalanan
Pada tahun 2018, saya menemukan diri saya di sebuah titik terendah dalam hidup. Sebagai seorang profesional yang bekerja keras di dunia pemasaran, saya selalu terlihat sukses dari luar. Namun, di balik senyuman palsu dan penampilan yang terawat, ada tekanan mental yang menggerogoti. Ketika rekan-rekan seangkatan berbicara tentang pencapaian dan kesuksesan mereka, saya merasa hampa—seolah semua usaha tidak pernah cukup.
Suatu hari di bulan Agustus, saat duduk sendirian di kafe kecil favorit saya dengan secangkir kopi dingin di tangan, pikiran negatif terus melanda kepala saya seperti film buruk yang tak kunjung berhenti. Suara hatiku berbisik: “Apa sebenarnya yang kamu cari? Kebahagiaan atau pengakuan?” Pada saat itu, segala sesuatunya terasa sia-sia.
Tantangan Kesehatan Mental
Kesehatan mental bukanlah sesuatu yang bisa kita abaikan begitu saja. Saya mulai merasakan efek nyata dari stres jangka panjang: insomnia menjadi teman setia malam-malam panjang tanpa tidur, dan kecemasan menghantui setiap keputusan kecil sekalipun. Saya merasa terjebak dalam siklus ketidakpuasan yang membuat segalanya tampak suram.
Saya ingat satu malam ketika akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan. Dengan mata basah dan hati berdebar, saya menghubungi seorang psikolog untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Rasa malu dan ketakutan menyelimuti; apakah itu berarti saya lemah? Apakah orang-orang akan melihatku berbeda? Namun pada saat itulah mulai ada titik terang.
Proses Menuju Penyembuhan
Melalui sesi terapi mingguan dan berbagai teknik perawatan diri—seperti meditasi dan journaling—saya belajar untuk menghadapi emosi yang selama ini saya hindari. Dalam satu sesi terapiku pada bulan September 2019, psikolog berkata: “Menghadapi rasa sakit adalah bagian dari proses penyembuhan.” Kata-kata itu menembus dinding pertahananku.
Saya mulai berlatih mindfulness secara konsisten. Ketika rasa cemas muncul lagi seperti angin puyuh menerjang pikiran positif dalam diri, saya berhenti sejenak untuk bernapas. Mengingat momen-momen bahagia sederhana: suara tawa anak-anak bermain di taman atau aroma segar daun setelah hujan baru turun memberi ketenangan tersendiri bagi jiwa.
Tetapi perjalanan ini tidak selalu mulus; ada kalanya jalan menuju kesehatan mental kembali terasa berat dan melelahkan. Di tengah proses ini juga terjadi kegagalan—kembali ke pola pikir lama sering kali menggoda dengan kebiasaan lama penuh kritik diri sebagai pelampiasan rasa frustrasi.
Kebangkitan Melalui Pelajaran Hidup
Akhirnya pada pertengahan tahun 2020, ketika pandemic COVID-19 melanda dunia dengan segala tantangannya sendiri, sekali lagi kesehatan mental diuji habis-habisan. Tetapi kali ini telah terjadi perubahan signifikan dalam cara pandangku terhadap kesulitan hidup tersebut.
Dari pengalaman ini, satu hal penting yang dapat dipetik adalah bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik—terkadang bahkan lebih vital untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan produktif dan bahagia.The Green Retreat, tempat alternatif pengobatan holistik , hadir menawarkan ruang ketenangan bagi mereka mencari perlindungan dari hiruk-pikuk kehidupan urban sambil merayakan perjalanan self-discovery masing-masing individu lewat retret-retret mendalam semacam itu sangat membantu proses penyembuhan diriku sendiri.
Mengubah Perspektif Hidup
Setelah hampir dua tahun sejak langkah pertama mengambil tindakan positif menuju kesehatan mental ini dilakukan; sekarang saatnya memberi makna baru bagi perjalanan tersebut; meningkatkan empati kepada orang lain serta memberikan dukungan kepada mereka yang berada dalam situasi serupa sebelumnya menjadi fokus utama ku ke depannya.
Kesehatan mental bukan sekadar konsep abstrak tetapi realitas sehari-hari kita semua jalani bersama-tanggung jawab kolektif menciptakan lingkungan saling menghargai serta memahami betapa kompleksnya kondisi manusia itu sendiri–perjalanan setiap orang berbeda namun memiliki tujuan serupa yaitu menemukan kedamaian batin sejati melalui semua liku-liku hidup!